Puisi dijumpai pada sebuah catatan tanpa tarikh; tanpa nama.
Akukah itu
Yang masih terpana
Mendengar ceritera lampau
Akukah itu
Yang terus merintih
Walau dalam gurau
Akukah itu
Yang tak putus memanggil
Pada tiap racau
Itulah aku
Terhimpit pada dua noktah yang bersengketa
Dek kosongnya hati
Disapa dendam tak bersuara
Dicabar soalan tak bertuan
Lalu ku berseru pada Pemilik sekalian hati
Ampunilah aku
Kerana terus-terusan berdiri
Menyanggar dilema seorang aku.
Wahai aku yang berdilema
Bukankah pernah kau nyatakan
Kita menatap bulan yang sama?
Maka...
- pada tiap luruhan daun
- tiap titisan embun
- tiap keping ais bercorak geometri
- tiap debunga yang terbang tinggi
- tiap kembang harum mewangi
- tiap keringat dipanah mentari
- tiap musim bersilih ganti
- tiap derap kaki-kaki
Syarat hidup itu satu -
Jangan sekutu
Mudah-mudahan Dia bersamamu.
2 comments:
Puisi ini mengingatkan saya pd seorang hamba Allah.Hidup bahagia bersama suami tercinta, tp salahkan mengigati bekas kekasih? sejarah tetap sejarah..jadikan sebagai iktibar..rasanya tidak salah untuk mengenang, tapi usah keterlaluan. ada hati2 lain yang perlu kita belai dan sirami dgn kasih sayang.Hati yang mudah bergundah gelana, tanpa iman mengisi, sudah pasti telah jauh hanyut di alam fana.
Panjang lebar komen masykur. Terima kasih kerana melawat blog saya walaupun tulisan-tulisan saya tak seberapa. Sekali imbas, membaca puisi ni macam org putus cinta tapi hakikatnya terlalu banyak dilema dalam kehidupan kita sehari-hari yg susah nak diungkapkan. Dilema tugas, persaudaraan,kesihatan diri dan beban dakwah. Kalau dah soal kerja sampai termasuk-masuk dalam mimpi tak ke dilema tu? :)
Post a Comment